Perjuangan Patriotisme Bon Setitit dari Kei hingga ke Konferensi Meja Bundar
Drs. Bonaventura Setitit, lahir pada 19 Mei 1919. Asli pribumi berasal dari Kei - Maluku Tenggara. Terletak di ujung timur Indonesia, mungkin tidak banyak diketahui orang. Saat itu berbeda dengan wilayah barat Nusantara, dengan demikian pergerakan nasional tidak terlalu menggema di wilayah timur. Bahkan, masyarakat di sana belum mengenal istilah negara apalagi dengan kata merdeka. Baru setelah Konferensi Meja Bundar (1950) dan Pemerintahan RI berkuasa, sedikit demi sedikit gema terdengar.
Dengan ilmu yang didapat dari HIS dan OSVIA di Makasar, ia menamatkan pendidikan itu pada usia 22 tahun. Pada 1941, Bon mulai bekerja pada kantor Pemerintahan Hindia Belanda sebagai klerk atau pesuruh dan ditempatkan di Agats-Papua.
Di Papua dia bertemu dengan para guru dari Kei yang sudah dikirim oleh misi Gereja Katolik sejak 1908. Pada Juli 1942, Jepang menduduki pulau Kei dan 15 misionaris Katolik termasuk Mgr. J. Aerts MSC gugur. Mereka dituduh sebagai antek Belanda karena menyimpan bahan makanan, senjata dan amunisi. Kejadian tersebut menimbulkan luka mendalam.
Pada 1944, Bon dikirim ke Brisbane - Australia untuk memperdalam ilmu pemerintahan. Pulang dari Australia, dia ditugaskan ke Timoer-Soe dengan jabatan sebagai junior Controleur dan berpangkat letnan dua. Pada 1947, saat kembali ke Ambon mendapat kenaikan jabatan sebagai Controleur padahal dia seorang pribumi dan mewakili Maluku di Dewan Perwakilan Maluku Selatan (Zuid Molukken Raad) pada pemerintahan Timur Raya (Gouvernement Groote Oost).
Mosi Rakyat Kei
Pada 1947, dia bersama teman-teman seperjuangan, mendeklarasikan “Mosi Rakyat Kei” atas nama rakyat Maluku Terselatan, ketika masih menjadi controleur di Saumlaki - Tanimbar. Dia mengibarkan Merah Putih di depan kantornya. Bon lalu dipecat dari jabatannya dan harus kembali ke Ambon. Dia dipisahkan serta diasingkan ke luar negeri, dengan alasan harus menempuh pendidikan lanjutan pada Universitas Leiden di Belanda. Rasa heran menyelimuti dirinya, karena bukan hukuman yang diterima, melainkan beasiswa, meskipun beban tersendiri karena dipisahkan dengan teman seperjuangan.
Penugasan pada Sekretariat Jenderal Konferensi Meja Bundar
Di masa penantian tahun ajaran baru, karena surat keterangan (HBS) belum diperoleh, oleh Kementerian Wilayah Luar Negeri (Ministerie Van Overzeese Gebiedsdelen) pada 3 Agustus 1949, sang putra Kei itu ditugaskan pada Sekretariat Jenderal Konferensi Meja Bundar. Sidang akan dimulai pada Agustus 1949.
Bon menjadi saksi sejarah penandatanganan kesepakatan penyerahan kedaulatan Konferensi Meja Bundar pada 2 Nopember 1949. Bon mulai kuliah pada fakultas lintas disiplin ilmu Universitas Leiden, jurusan Indologie - Ekonomi. Menakjubkan, Bon mampu menyelesaikan hanya dalam waktu dua setengah tahun. Summa cum laude, yang paling berprestasi dan penghargaan tertinggi tertulis dalam ijazah yang ditandatangani oleh guru besar Universitas Leiden.
Surat Komisariat Agung RI di Den Haag, paska penyerahan kedaulatan memanggil Bon untuk memilih status kewarganegaraan. Dia memilih tetap sebagai Warga Negara RI.
Untuk itu Bon dipulangkan ke Indonesia dan di tetapkan bekerja pada Kementerian Departemen Dalam Negeri RI dengan pangat sebagai Referendaris, jabatan Kepala Otonomi dan Desentralisasi, golongan VI/b. Referendaris Adalah Pegawai Tinggi yang menduduki jabatan di Departemen (Dirjen). Masa kerja sebelumnya (Hinda Belanda sejak 1941 diperhitungkan. Saat pemerintahan kabinet Wilopo dengan Moh. Roem sebagai Menteri Dalam Negeri. Bon mengerjakan hal-hal yang berkenaan dengan pembuatan rancangan undang-undang dan peraturan-peraturan menteri.
Di era 1950-an, terjadi perdebatan antara sentralisasi dan desentralisasi di negara yang baru berdiri. Hal tersebut mengakibatkan Bon kehilangan pekerjaan, Divisi Otonomi dan Desentralisasi dibubarkan. Bon terpaksa mengundurkan diri dari Kementerian Dalam Negeri RI.
Bon pergi ke Sumatera, bekerja pada United State Rubber Company Sumatra Plantation (USRCSP), milik perusahaan patungan Amerika dan Belanda. Bon menulis surat pada Kementerian Dalam Negeri guna mengajukan permohonan agar boleh melanjutkan program pensiunnya. Bukan jawaban yang Bon terima melainkan surat menanyakan status kebangsaannya. Bon marah dan tersinggung, tetapi dengan santun dia membalasnya kepada Biro Kepegawaian Kemendagri dan tidak pernah ada kelanjutannya. Pada akhir 1959, Bon harus berhenti bekerja kembali ke Jakarta, karena dampak dari “Nasionalisasi Perusahaan Asing”.
Pada 1960 Bon, diterima bekerja di Central Trading Corporation, dalam perjalanannya perusahaan tersebut berubah menjadi Perusahaan Dagang Negara Tri Bhakti kemudian PN. Pantja Niaga. Selama sepuluh tahun lebih, Bon mengabdi pada perusahaan negara tersebut. Era Orde Lama tumbang digantikan dengan Orde Baru. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 12 tahun 1969, tentang “Reorganisasi di seluruh Perusahaan Negara”. PN. Pantja Niaga dibubarkan, Bon sekali lagi dipecat dan diberhentikan. Di usia relatif muda 52 tahun pada 1972, putra Kei dipanggil menghadap-Nya.
|
Bon Setitit dari Kei untuk KMB |
Epilog
Kisah dalam buku ini menceritakan tentang seorang berasal dari kepulauan Kei yang hidup dimasa pergerakan nasional. Ia bekerja pada departemen dalam negeri hindia belanda berijazah OSVIA Makasar 1941.
Dalam perjalanan kehidupan Bon Setitit, oleh Ministerie Van Overzeese Gebeidsdelen - Kementerian Luar Negeri Belanda, merupakan Departemen yang bertanggung jawab bagi para penerima beasiswa selama studi, memberikan surat penugasan kepada Bon. Terhitung mulai 8 Agustus 1949. untuk duduk pada Sekretariat Jenderal Konferensi Meja Bundar (KMB). Ketika itu Bon masih berpangkat Controleur sedang mendapat tugas belajar ke Belanda oleh pemerintah Hindia Belanda. Tetapi tertunda saat pendaftaran pada Universitas Leiden jurusan Indologie-Ekonomi karena Ijazah HBS nya belum ditanda tangani Menteri Pendidikan Belanda akibatnya dia harus menunggu tahun ajaran baru 1949/1950, yang akan dibuka bulan November 1949.
Kesempatan duduk di KMB dipergunakan semaksimum mungkin karena Bon memahami bahwa perundingan ini sangat penting bagi kepentingan bangsa. Berkenalan dengan para delegasi Indonesia yang di pimpin oleh Moh. Hatta, merupakan kebanggaan tersendiri. Peristiwa ini berlangsung hampir tiga bulan, merupakan waktu panjang dan melelahkan bagi para delegasi. Sidang KMB ini dalam pantauan PBB dan beberapa negara peninjau untuk memastikan perundingan berjalan dengan kesepakatan tanpa paksaan atau tekanan. Satu peristiwa besar dan mendunia setelah perang dunia kedua, Bon menjadi saksi sejarah dalam peristiwa tersebut. Banyak permasalahan yang dibicarakan harus disepakati tanpa merugikan kedua belah pihak. Tugas kesekretariatan adalah mengerjakan notulensi dan risalah selama persidangan, termasuk menerjemahkan kedalam bahasa Indonesia atau sebaliknya, Bon melakukannya sangat hati-hati dan memilih kata yang menguntungkan bangsanya.
Pada 1 Nopember 49, sidang KMB berakhir dengan kesepakatan masing-masing pihak dan keesokan harinya agenda penandatanganan kesepakatan antara delegasi Belanda dan Indonesia. Merupakan sejarah penting sebagai negara berdaulat dengan pengakuan dari dunia. Penyerahan kedaulatan akan dilaksanakan pada bulan Desember 1949, oleh pimpinan tertinggi kedua negara dan dilaksanakan dalam waktu bersamaan pada masing-masing negara.
Pada 1944, Belanda kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu, menguasai Indonesia Timur dan Papua. Setelah mengalahkan Jepang, Belanda mendirikan Pemerintahan Sipil Hindia Belanda. Pemerintahan yang disebut NICA yang merupakan otoritas sipil dan militer yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda dari tahun 1944 hingga 1947 untuk wilayah yang merupakan bekas dari koloni Hindia Belanda.
Pada 1947, saat menjabat sebagai Controleur membawahi wilayah Saumlaki Tanimbar, Bon bersama rekan-rekan nya menyatakan sikap terhadap pemerintah Hindia Belanda (Mosi Rakyat Kei), mengenai pembagian wilayah yang berpotensi membuat kemiskinan dan perlakuan tidak adil. Ia melakukan pengibaran Merah Putih dihalaman kantornya, sehingga membuat pemerintahan Hindia Belanda murka terhadapnya. Bon dipecat dipanggil pulang ke Ambon, jabatan sebagai Controleur di Saumlaki dan Hakim Negara urusan Pidana dicabut. Pangkat Letnan Satu tidak ada kejelasan. Bon merupakan satu-satu nya Controleur pribumi. Hukuman di jatuhkan, Bon dipisahkan dengan teman-teman seperjuangannya. Beralasan dengan memberikan tugas belajar, padahal kesempatan tugas belajar itu sudah dinyatakan tertutup sebelumnya. Hal ini sangat diluar dugaan bagi Bon. Dengan menyandang status Controleur yang mendapat tugas belajar, Bon berangkat. Sebelumnya dia harus menyelesaikan pendidikan kesetaraan agar dasar pendidikan setara dengan HBS pada Universiteit Indonesie di Batavia pada 1948, sebagai persyaratan masuk Universitas di Belanda.
Hal yang menakjubkan pada Universitas Leiden di Belanda dilakukan Bon pada masa studinya, materi kuliah tingkat doktoral Indologi-Ekonomi hanya diselesaikan hanya dalam waktu dua setengah tahun dengan predikat summa cum laude, padahal waktu kuliah rata-rata lima hingga tujuh tahun dan hanya tiga tahun dibatasi untuk para penerima beasiswa.
Komisariat Agung Republik Indonesia di Den Haag, lembaga yang dibentuk paska KMB untuk menangani proses penyerahan kedaulatan, memberikan surat panggilan. Sesuai dengan kesepakatan KMB sebagai warga negara Indonesia, Bon diberikan untuk memilih kewarganegaraan dan pekerjaannya. Bon memilih tetap sebagai Warga Negara Indonesia. Untuk itu dia harus kembali ke Indonesia.
Bon ditempatkan pada Kementerian Dalam Negeri RI dengan pangkat sebagai Referendaris, jabatan Kepala Otonomi dan Desentralisasi, golongan VI/b. Referendaris adalah pegawai tinggi yang menduduki jabatan di departemen. Masa kerja sebelumnya pada pemerintahan Hindia Belanda diakui diperhitungkan.
Selama di Kemendagri dia mengerjakan melakukan rancangan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Saat itu Bon konsentrasi pada pembentukan wilayah adiminstrasi pemerintahan di Indonesia bagian Timur (Maluku) paska terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karena perubahan sistem pemerintahan saat itu yang lebih ke sentralistik, mengakibatkan departemen otonomi dan desentralisasi yang baru didirikan di bubarkan dan Bon mengundurkan diri pada akhir 1954.
Sarat isi dan Makna
Buku Bon Setitit dari Kei untuk KMB sarat isi dan Makna. Dimana salah satunya tentang keteladanan hidup dalam pengabdiannya yang tulus dan utuh. Mengajarkan Semangat Cinta Tanah Air yang tulus dan luar biasa, tidak mengedepankan kepentingan diri dan keluarga.
"Keteguhan hati dan rasa cinta tanah air harus tertanam kuat di dalam setiap anak bangsa. Sehingga menjadi inspirasi dan panutan bagi generasi muda dalam usaha yang sungguh-sungguh menuju kejayaan bangsa di Era Indonesia Emas yang akan datang" - Surya Paloh (Chairman of Media Group)
"Saksi sejarah pada Konfrensi Meja Bundar, adalah bukan sesuatu yang main-main, sebuah ukiran sejarah dari peran orang-orang penting yang jumlahnya hanya bisa dihitung dengan jari" - Chappy Hakim (Marsekal Purnawirawan Kepala Staf Angkatan Udara RI 2002-2005).
Sangat bangga dan menginspirasi dengan kisah perjalanan beliau...
BalasHapus